Perwakilan Masyarakat adat Suku Oktim/Oria, Distrik Yapsi dan Distrik Kaureh datangi Kantor Majelis Rakyat Papua ( MRP ) kamis 8/5/2025, Melakukan Koordinasi terkait aspirasi mereka yang disampaikan ke MRP Tentang Pemanfaatan Hutan Adat di Wilayah Mereka ( Wilayah Pembangunan 4 Kabupaten Jayapura ) dan MRP sebagai lembaga representasi orang asli papua telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk rekomndasi untuk di Tindak lanjuti

Menurut Pengakuan Ketua Dewan Adat Suku Oktim Distrik Yapsi , Robert Urumban bahwa, Tindak lanjut dari Rekomndasi MRP, kami telah bertemu Jurmansyah (Direktur Penanganan Konflik di Manggala Bakti Jakarta, kementrian Lingkungan Hidup) Pada Tanggal 21, Maret, 2025
Menurut Ketua DAS Oktim Robert Urumban, Dalam Pertemuan yang di lakukan bersama Direktur Penanganan Konflik KLHK, Masi ada ruang untuk masyarakat adat mengelola potensi hutan sendiri, untuk itu hari ini kami datang kembali ke MRP, meminta Dukungannya untuk berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan Provinsi Papua, supaya dalam pengelolaan hutan di wilayah adat kami yang sejak tahun 1994-2025 ini, ada ruang juga untuk masyarakat adat setempat, sehingga masyarakat adat sendiri bisa kelola hutannya.
Selama ini penggunaan potensi hutan oleh masyarakat adat dinilai ilegal oleh perusahan yang telah beroperasi dan sudah mengantongi ijin HPH. untuk itu kami berupaya agar Dinas Kehutanan Provinsi Papua mendukung upaya kami masyarakat adat, agar supaya kementrian KLHK mengeluarkan Ijin legal usaha untuk masyarakat adat yang punya hutan
Dalam pengakuan mereka saat berkunjungnke MRP bahwa, Sampai hari ini Masyarakat adat di wilayah Pembangunan 4 di Kabupaten Jayapura Belum Merasakan Dampak Positif dari Pengelolaan Hutan, Mala Masyakat adat jadi orang asing diatas tanah nenek moyangnya sendiri, dan itu yang kami rasakan saat ini
Terkait dengan mekanisme atau tata cara perijinan Untuk masyarakat adat, Robert Urumban mengatakan bahwa itu bisa di koordinasikan ke balai BPHL Wilayah X Jayapura, Mereka bisa mendampingi dalam proses itu, Agar perijinan itu bisa keluar dan diperuntukan bagi masyarakat adalah dalam bentuk Badan Usaha, sehingga dalam pengelolaan hutan, penebangan pohon dan lain-lain bisa dilakukan secara ramah lingkungan, tidak lagi merusak hutan
Robert Urumban Menambahkan juga bahwa, memang banyak Regulasinyang sudah ada, namun pelaksanaanya ada masalah dengan masyarakat adat, Ketidak Adilan juga berbarengan dalam pelaksanaanya, masyarakat adat merasa tertindas, kami mau Hal ini harus di koordinasikan ketingkat Gubernur, Agar ada regulasi khusus untuk masyarakat adat diwilayah kami.
Menurut Ketua Dewan Adat Suku Oktim, Penggunaan Ijin HPH yang dikeluarkan di wilayah adat kami sah-sah saja, tetapi harus memberikan ruang juga untuk masyarakat adat, yang kami tuntut harus ada keadilan untuk Masyakat adat yang punya wilayah
Masa Perusahan Koorporasi bisa saja diberikan ijin HPH, sedangkan untuk masyarakat adat tidak bisa ada kebijakan, hal yang berikut kami minta Kawasan Hutan Produksi Terbatas ( HPT ) yang dari kementrian telah berubah ke Hutan Produksi Lain ( HPL ) disitu ada Perjanjian Hutan Tanaman ( PHT ), Inikan nomenklaturnya sangat efektif kepada masyarakat adat, ini bisa jadi ruang untuk masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengolahan hutan, dan Utuk kepengurusan ijinya tidak terlalu susah, PHT menurut kami, bisa merubah taraf hidup kami masyarakat adat yang ada di Dua Distrik wilayah Pembangunan 4 Kabupaten Jayapura yaitu Yapsi dan Kaureh
Kami sangat mengharapkan kepada semua pihak agar dapat memperhatikan bagian ini, Supaya terhindar dari hal-hal buruk yang muncul dari rasa ketidak puasan di masyarakat adat dengan pengelolaan hutan nya selama ini oleh beberapa perusahan HPH yang diberikan ijin oleh negara, antara lain; PT. YOLIM SARI, PT.KAYU LAPIS, PT. ANDATU, PT.BIP, tidak ada perubahan di masyarakat adat, Mala hutan Masyarakat yang hancur dari hari – Ke hari lebih parah lagi seperti PHLM, Masyarakat adat selalu dibenturkan dengan Aparat, ini ketidak Adilan yang harus diperbaiki secara bijak, kami tidak mau ada pemberontakan seperti di tempat-tempat lain hanya karena ketidak puasan, Kami Masyarakat adat cukup dewasa dan mengerti, untuk itu kami juga mohon untuk ada pengertian buat kami yang memiliki warisan diatas tanah dan wilayah adat kami
Ketua Dewan Adat suku Oktim Robert Urumban Menegaskan, jika Masyarakat adat tidak di berikan ruang lagi, maka jangan harap ada ijin HPH lagi untuk pengolahan hutan di wilayah hukum adat kami, kami tegas mengingatkan agar supaya ditindak lanjuti, kami sebagai Manusia yang punya hubungan erat dengan tanah dan wilayah hukum adat kami tidak bisa dianak tirikan, lalu Perusahan Korporasi dianak emaskan, ini tidak ada keadilan.
Ditempat yang sama, Ketua Dewan Adat Suku Kaureh Nimbrot Yamle Kepada Media ini menyampaikan bahwa, Sebesar 2.451.ha hutan Masyarakat adat yang lagi di kelola saat ini, dari 28.751. ha yang di keluarkan dalam ijin HPH dan saat ini, itu berarti Masi ada sekitar 26.300 ha, yang siap di kelola, sementara kami masyarakat adat jadi penonton
Yamle menambahkan perlu ditinjau kembali tahapan awal yang terjadi sejak 3, mei 1994, sehingga ada ijin-ijin pengelolaan hutan adat kami, pada tahun itu Masi rezim orde baru Jaman Suharto, banyak orang tua-orang tua kami yang belum sekolah, pemahaman mereka terbatas, ada banyak sabotase tandatangan, pemimpin adat ( Ondowafi ) sendiri kebanyakan tidak tandatangan persetujuan itu, proses awal untuk mendapatkan ijin seluas 28.751 ha hanya dihadiahi uang tunai sebesar Rp.136.000,000 saja, orang-orang kami pada saat itu dengan keterbatasan mereka, mereka terima saja, apa lagi berhadapan dengan tangan besi, mereka semua ikut saja aba-aba untuk merestui proses persetujuan pelepasan, proses awal ini juga tidak ada tahapan sosialisasi kepada masyarakat adat, lalu penandatanganan para pihak sebagai saksi juga hanya dilakukan oleh Kapolsek, Camat, dan Danramil pada waktu itu.
Di tahapan awal suda ada ketidak Adilan yang di buat untuk kami masyarakat adat, sehingga sampai hari ini kami baru merasakan dampak buruknya. (ok)
Penulis Jurnalis Masyarakat Adat PD. AMAN Jayapura