Snap Mor, Cara Tradisional Masyarakat Adat Biak Menangkap Ikan

Ratusan Masyarakat Adat Suku Biak berduyun-duyun pergi ke pantai. Mereka hendak menangkap ikan secara tradisional. Budaya ini kerap dilaksanakan Masyarakat Adat Suku Biak pada saat air laut pasang besar hingga surut besar yang terjadi di saat bulan sabit dan bulan purnama pertama di bulan Juni hingga Oktober. Cara menangkap ikan secara tradisional ini disebut Snap Mor.

“Snap Mor merupakan salah satu cara kegiatan mata pencaharian berkelanjutan yang dimiliki Suku Biak,” jelas Kumeser Kafiar, salah seorang tokoh Masyarakat Adat Biak Papua belum lama ini.

Suku Biak adalah salah satu suku di Papua yang mendiami pulau Biak dan sekitarnya. Pulau Biak berada di Utara Papua berbatasan langsung dengan Samudara Pasifik.

Suku Biak merupakan salah satu komunitas suku terbesar di Papua. Bahasa mereka satu, yang membedakan mereka adalah dialek yang dipakai oleh kelompok-kelompok komunitas dalam Suku Biak.

Suku ini mempunyai satu budaya yang cukup terkenal yaitu Snap Mor. Budaya Snap Mor merupakan kebiasaan Masyarakat Adat Biak melaksanakan pesta menangkap ikan secara beramai-ramai. Budaya ini sekaligus sebagai bentuk melestarikan Sumber Daya Alam mereka.

Kegiatan Snap Mor adalah kegiatan menangkap ikan secara tradisional dengan cara memagari sebagian pesisir dengan alat bantu jaring sambil menjaganya sejak air pasang waktu pagi hari atau subuh hingga saat air surut di siang hari. Disaat air surut, maka saat itu lah dipersilahkan semua warga kampung, bahkan kampung tetangga untuk mulai menangkap ikan.

“Tradisi ini sudah kami lakukan sejak nenek moyang. Hingga kini tetap dipertahankan turun temurun,” ungkap Kafiar.

Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN dan Dewan Adat Papua Biak ini menjelaskan sebelum melakukan Snap Mor, daerah atau lokasi yang ingin dijadikan sebagai tempat Snap Mor harus disasi atau dilarang. Pelarangan ini dilakukan beberapa waktu tertentu sehingga tidak ada orang yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di lokasi itu. Setelah habis waktu larangan, maka lokasi itu diizinkan untuk dilakukan aktivitas penangkapan ikan.

Sebelum Masyarakat Adat Suku Biak mengenal adanya jaring, maka yang dilakukan adalah mengumpulkan sebagian batu karang menjadi tumpukan, lalu membiarkan ikan untuk berada dalam tumpukan-tumpukan batu karang tersebut. Disaat air laut surut, masyarakat beramai ramai menangkap ikan yang berada pada tumpukan batu karang tersebut.

“Tumpukan batu karang tersebut disebut Mor,” terang Kafiar.

Lalu, dengan adanya pengetahuan jaring maka ditambah dengan kegiatan menjaring atau memagari tepi pantai atau laut dengan jaring.

“Cara ini disebut Snap,” imbuhnya.

Kafiar menambahkan Snap Mor dapat dikatakan kegiatan inklusi sosial karena dapat diikuti oleh anak anak, remaja, pemuda-pemudi laki- laki dewasa, orang tua maupun orang disabilitas.

Fredrik Morin, salah seorang nelayan di Biak mengakui tradisi Snap Mor merupakan tradisi sakral yang dilakukan pada waktu atau kesempatan tertentu. Fredrik menyebut kebiasaan Masyarakat Adat Biak ini turun temurun terus dilestarikan dalam upaya menjaga keseimbangan alam, yang condong menggunakan alat tangkap moderen. Menurutnya, cara menangkap ikan seperti ini sebagai bagian upaya mereka menjaga alam.

“Tradisi ini untuk menjaga keseimbangan alam, sehingga alam juga memberikan manfaat bagi kita manusia,” katanya.

Fredrik mengatakan selain untuk keseimbangan alam, tradisi Snap Mor juga sebagai edukasi kepada Masyarakat Adat untuk menjaga lingkungan agar populasi ikan tetap ada untuk memberikan manfaat ekonomi.

“Snap Mor tidak saja sebagai budaya dan tradisi, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan dalam kegiatan-kegiatan besar yang dibuat oleh Masyarakat Adat Suku Biak,” tutupnya.

Penulis: Nesta Makuba

Potret Sekolah Adat Berbasis Teknologi di Perbatasan RI-PNG 

Oleh : Nesta Makuba

Jayapura,20/12/2023_Jauh dari pusat kota dan hiruk pikuk keramaian, tak membuat sekolah adat di Distrik Mindiptana terasing. Sekolah adat yang berlokasi di dekat perbatasan RI-Papua Nugini ini justru diminati oleh banyak orang, terutama perempuan adat Papua.

Genoveva Kangrinon misalnya, ibu berusia 56 tahun ini sudah satu tahun lebih belajar di sekolah adat tersebut. Ia mengaku banyak sekali mendapatkan ilmu yang cukup berharga dari sekolah adat berbasis teknologi tersebut. Lanjutkan membaca “Potret Sekolah Adat Berbasis Teknologi di Perbatasan RI-PNG “

Rajut Aspirasi Iram Tekai untuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA)

Jayapura,13/11/2023_Pertemuan menoken ( Merajut Aspirasih Masyarakat adat ) yang dilakukan hari Kamis 9/11/2023 di kampung Genyem Besar Distrik Nimboran Kabupaten Jayapura oleh Badan Usaha Milik Masyarakat adat di dampingi PD. AMAN Jayapura dan Samdana sebagai NGO mitra masyarakat adat, berhasil menjaring Aspirasi para pimpinan adat setempat ( Iram Tekai )

Ketua PD. AMAN JAYAPURA ( Benhur Wally )

Ketua PD.AMAN Jayapura Benhur Wally saat diwawancarai menjelaskan bahwa Bada Usaha Milik Adat BUMMA NAMBLONG atau PT. Yembe Namblong merupakan Komitmen masyarakat adat di wilayah adat Namblong untuk mengelolah potensi SDAnya, ini juga hasil dari pendampingan Tim Ekonomi AMAN Jayapura dan SAMDANA

Lanjut Beny Wally, Ada dukungan besar dari Pimpinan adat setempat ( Iram Tekai ) melalui pertemuan hari ini, mereka telah memberikan dukungan dan harapan kepada BUMA bagaimana menjalankan usaha-usaha di masyarakat adat sesuai instrumen budaya yang berlaku di lemba grime, dan kehadiran dan antusias masyarakat di pertemuan ini sangat luar biasa, ini menandakan bahwa masyarakat adat di Grime Nawa ingin hidup mandiri, baik dari negara dan investor-investor yang masuk di wilayah hukum adat mereka Lanjutkan membaca “Rajut Aspirasi Iram Tekai untuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA)”

Peluncuran Buku ‘Kembali ke Kampung Adat’

Jayapura,5/11/2023_Bertempat di Hotel Suni Garden Sentani, Jayapura, Papua, Selasa (5/1/2022), buku berjudul ‘Kembali ke Kampung Adat: Meniti Jalan Perubahan di Tanah Papua’ resmi diluncurkan. Buku setebal 180 halaman tersebut ditulis oleh  Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw dan diterbitkan oleh  Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Mathius Awoitauw yang saat itu menjabat bupati jayapura menceriterakan awal mula muncul gagasan menulis buku itu tidak terlepas dari pengalamannya selama sekitar 27 tahun menggeluti bidang pemberdayaan masyarakat dan saat periode pertama memimpin Kabupaten Jayapura.

“Tampaknya ada benang merah, ketika dirinya merefleksikan secara  mendalam praktek pembangunan yang ada di Tanah Papua selama puluhan tahun. Bukan saja pembangunan dalam arti tata kelola pemerintahan dan masyarakat, tetapi terutama pembangunan manusia Papua,’’ kata Mathius.

Dalam refleksinya, Mathius merasakan ada yang ‘hilang’ dari seluruh perjalanan orang Papua selama bertahun-tahun. Anak-anak Papua tercerabutnya dari akar budayanya. Sehingga bicara tentang kampung adat, kata Mathius, sebenarnya adalah bicara tentang bagaimana mengembalikan sesuatu yang hilang dari orang-orang Papua.

Menurut Mathius, gagasan ‘Kembali ke Kampung Adat’ merupakan bentuk Restorasi Pembangunan di Papua. Bagi Mathius, praktik dan pola pembangunan yang ada di Papua selama ini makin membuat anak-anak Papua ‘terasing’ dari akar budayanya sendiri. Artinya, kata dia, ada pola pembangunan selama ini yang cukup sistematis yang menyebabkan anak-anak Papua ‘menjadi terasing’ dari budayanya sendiri.

“Sementara dalam banyak pengalaman saya, kebetulan saya adalah juga anak Kepala Suku, sedikit banyak mengerti bagaimana akar budaya orang Papua justru menjadi sumber nilai dalam seluruh tatanan kehidupannya. Jika itu dipraktikkan secara konsisten justru mampu menjawab seluruh tantangan kehidupan orang Papua pada zaman modern saat ini,” tegas Mathius.

Dalam pengalamannya, sejak awal dia merintis Program Kampung Adat di Kabupaten Jayapura, sambutan masyarakat luar biasa. Gagasan ‘Kembali ke Kampung Adat’ seakan menjadi jawaban atas kerinduan masyarakat selama ini yang tidak diberi tempat dalam pembangunan. Sekaligus gagasan ‘Kembali ke Kampung Adat’ merupakan tawaran pembangunan yang relevan dengan situasi Papua saat ini.

“Saya tegaskan dalam buku ini bahwa praktik pembangunan di Papua selama ini sebenarnya adalah praktik penaklukan atas alam dan atas orang-orang Papua. Sementara dalam kacamata masyarakat adat Papua, alam dan manusia adalah satu kesatuan yang utuh tak terpisahkan. Dalam budayanya, manusia Papua hidup menyatu dengan alam dan mereka bertugas menjaga Alamnya. Itulah juga faktanya, dalam kearifan adat Papua, adalah tugas seorang Ondoafi atau Ondofolo untuk memastikan alam yang memberi dia hidup tetap terjaga dan terawat dengan baik,” jelas Mathius.

Saat ini terkait penataan kampung adat di Jayapura sendiri, sudah ada 14 kampung adat, 24 yang sedang dalam proses penataan, dan 35 yang sedang diusulkan.

“Kita tentu berharap ini terus berkembang. Dan syukur-syukur bisa berjalan di hampir seluruh wilayah Papua. Karena gagasan ini menurut saya yang lebih cocok ketika kita bicara bagaimana membangun Papua ke depan,” pungkasnya.(ok*)

Komitmen Pertahankan Budaya Uskup Yanuarius Matopai, Rencana Kunjungi Kampung Adat di Kab.Jayapura

Sentani, 5/11/2023_Mengikuti perkembangan kebangkitan masyarakat adat di kabupaten jayapura, dan ajaran-ajaaran budaya melalui sekolah adat, membuat Uskup merasah tersingkron dengan tekatnya untuk mempertahankan nilai-nilai murni masyarakat adat di Papua, Uskup Yanuarius Theofilus Matopai You berencana akan mengunjungi Kampung adat di kabupaten Jayapura dan Sekolah adat di Kabupaten Jayapura dalam waktu dekat

Hal ini di sampaikan pada saat pertemuan silaturahmi bersama Tokoh kebangkitan masyarakat adat Papua Mathius Awoitau SE M.Si yang juga sebagai mantan Bupati Jayapura sekaligus penggagas Kampung adat di kabupaten Jayapura

Silahturahmi antar ke dua Tokoh penting Papua ini berlangsung hari Jumat 3/3/2023 di Keuskupan Jayapura, canda dan tawapun ikut mengiringi pertemuan saat itu, keduanya saling mendukung untuk membangun Papua dengan meletakan nilai-nilai budaya sebagai dasar dari segala bentuk tantangan dan perubahan-perubahan besar yang akan terjadi ke depan

Uskup Yanuarius Matopai You sangat tertarik dengan konsep Kebangkitan Adat yang di dorong selama ini di kabupaten Jayapura, menurutnya ini sebuah gagasan yang akan mempertahankan orang asli Papua dari ancaman degradasih nilai-nilai budaya, dan bagian ini semua orang papua wajib mendukungnya, Saya punya komitmen untuk mempertahankan keaslian orang Papua, untuk itu lebi awal saya suda himbau orang Papua jangan jual tanah hak ulayatnya yang diwariskan oleh nenek moyang hanya untuk kepentingan sesaat, karena itu sama dengan menghilangkan hak-hak sendiri dari atas negeri ini

Uskup juga akan menghimbau kepada semua sekolah-sekolah khatolik mulai dari PAUD sampai Perguruan Tinggi, Agar mengajarkan nilai-nilai adat istiadat di sekolah-sekolah, supaya karakteristik manusia berbudaya terbawa sejak kecil sampai dewasa

Ajaran adat istiadat dalam pengembangan SDM juga sebagai dasar pembentukan karakter manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari orang akan hidup dengan nilai-nilai luhur itu, kehidupan sosial kemasyarakatan akan di warnai dengan tatakrama yang baik, hidup saling menghargai, saling menghormati serta selalu rukun dan damai,tuturnya

Dalam pertemuan itu juga, Mathius Awoitauw selaku penggagas Kebangkitan masyarakat adat, Menyerahkan buku ” Kembali ke Kampung adat ” yang diterima langsung oleh Uskup sebagai bentuk Komitmen dalam misi bersama mempertahankan Existensi masyarakat yang berbudaya, agar pembangunan Papua kedepan dibangun berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal

Usai pertemuan itu, langsung diakhiri dengan Doa bersama yang dipimpin Uskup Yanuarius Matopai You, dan keduanya saling ber komitmen mempertahankan nilai-nilai keaslian sebagai konsep yang tepat untuk membangun Papua ke depan. (ok)

Menteri Agraria Perintahkan Dukung Kegiatan Pemetaan Tanah Adat

Jayapura,4/11/2023_Setelah sekian lama Masyarakat adat dan hak-haknya tereliminasi dari kebijakan-kebijakan investasi dan politik dalam negara, ruang-ruang kebebasan dirasa sulit didapati Keberadaan mereka sering dianggap sebagai kelompok minoritas yang acapkali diperlakukan diskriminatif, Hak-Hak Otoritas mereka, sering dianggap mengancam keutuhan NKRI

Papua sejak Orde baru, Masyarakat adat bersama Hak-hak Konstitusinya Tenggelam dalam kecurigaan besar sebagai Makar, kekuatan masyarakat adat terjepit oleh  sistim

Di masa reformasi, semua berubah sampai ke sendi-sendi masyarakat, termasuk masyarakat adat yang ada di Papua, Reformasih Agraria mengubah Suatu tirai yang membatasi ruang hidup masyarakat adat selama ini, kini telah berikan ruang kebebasan bagi masyarakat adat untuk mengelolah Sumber Daya Alamnya sendiri

Hal ini bisa disebut Evolusi Masyarakat adat, khusus di kabupaten Jayapura Ada yang berubah setelah ada upaya memperjuangkan posisi dan hak-hak masyarakat adat untuk mendapatkan Hak konstitusinya

Penjemputan Menteri Oleh Masyarakat Adat Sawoy

Nuansa kebangkitan Masyarakat adat yang dikumandangkan di kabupaten Jayapura bukan sekedar slogan, dibuktikan dengan kerja keras masyarakat adat bersama pemerintah daerah melalui GTMA, sehingga negara secara bijaksana menghadirkan Kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat, Seperti Kodefokasih Kampung adat, Hutan adat, dan kini kepastian Hak atas tanah adat

Menteri Agraria Kementrian ATR BPN Republik Indonesia Marsekal TNI (Purn) Dr. (H.C.) Hadi Tjahjanto S.I.P. dalam sambutanya mengatakan, Pemerintah Daerah dan Gugus Tugas Masyarakat Adat harus bekerja, Pemda harus mendukung penuh kerja-kerja GTMA, sehingga Konflik di Papua ini dapat teratasih

Dihadapan Masyarakat adat Sawoy Distrik Kemtuk Gresi Kabupaten Jayapura 17/20/2023  saat kegiatan  penyerahan Sertifikat HPL,  Jendral 4 bintang ini menyampaikan bahwa, saya dilantik jadi menteri Agraria, diperintahkan oleh Presiden Untuk menyelesaikan Konflik tanah, tumpang tindih, status dan hak kepemilikannya yang selama ini selalu memicu konflik

Saya berharap dengan adanya kebijakan negara ini, Masyarakat adat dapat mengolah tanah adatnya dengan baik, Masyarakat adat bisa berhubungan dengan infestor mana saja untuk mengelolah potensi SDAnya sendiri

Mathius Awoitauw Aktor Pencetus Kebangkitan Masyarakat adat di Papua saat usai kegiatan itu mengatakan bahwa, ada kemerdekaan yang mulai dialami masyarakat adat, kita yakini bahwa ini semua campur tangan Tuhan didalamnya, masyarakat adat tidak lagi jadi penonton saat ini, tapi akan jadi pelaku pengelolah SDAnya sendiri untuk peningkatan kesejahteraan dirinya dan generasih yang akan mewarisi warisan orang tuanya, tuturnya. ( obed )